Branding adalah salah satu aktivitas perusahaan atau institusi untuk menciptakan perspektif tertentu di mata publik. Perspektif yang baik dan positif menjadi hal yang ingin diraih perusahaan. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun narasi atau storytelling dalam aktivitas branding yang diterapkan.

Strategi ini diuraikan melalui kelas Kompas Institute bertajuk ‘Strategi Membangun Narasi sebuah Brand’. Bertempat di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, kelas dibawakan oleh Devi Attamimi (Executive Director, Strategy Hakuhodo Network Indonesia), Shafiq Mulyanto (General Manager H3 Hakuhodo Network Indonesia), Didit Putra Erlangga (Social Media Manager Harian Kompas), Tarrence K. Palar (Marketing Communication Manager Harian Kompas).

Selama dua hari, 19-20 Maret 2019, para peserta kelas diajak belajar membangun narasi brand yang mampu mendekatkan brand perusahaan dengan audiensnya, sekaligus menciptakan persepsi brand yang baik.

Memahami Kebutuhan Audiens

Buat narasi brand yang mampu menjawab solusi masalah target audiens. Itu kunci utamanya. Jika suatu perusahaan berhasil melakukannya, audiens akan terasa lebih akrab dengan brand, karena brand dianggap peduli. Istilahnya disebut desired state of mind, keadaan ketika brand berhasil hadir dengan intim terhadap audiensnya.

“Apakah sebuah brand benar-benar bisa mengetahui kebutuhan audiensnya? Tentu bisa, jika diawali dengan identifikasi masalah. Lakukan riset komprehensif, survey kondisi pasar dan kompetitor, dan kenali target audiens,” ujar Devi.

Hal serupa juga disampaikan Shafiq. Setiap brand pasti memiliki cerita untuk dikisahkan dan menarik simpati, namun akan menjadi kosong jika tidak memiliki solusi.

“Terdapat tiga hal penting yang wajib dijawab brand ketika merancang narasinya. Pertama, role. Apa peran brand dalam kehidupan audiens? Kedua, purpose. Apa tujuan penting yang ingin dicapar brand? Terakhir, solution. Apa solusi yang dipunyai brand untuk permasalahan yang ada? Dari ketiga itu, muaranya sama: brand harus punya dampak. Memiliki solusi atas isu-isu yang dihadapi audiens,” papar Shafiq.

Mengubah Tren menjadi Konten

Selain mengidentifikasi masalah audiens untuk memahami kebutuhannya, brand juga bisa memahami keinginan audiens lewat tren. Cara menemukan tren yang cocok untuk konten brand dimulai dengan menentukan apa yang ingin dicari terlebih dahulu, lalu melakukan pantauan terhadap tren pada waktu terbaik, dan kurasi tiap tren agar sesuai dengan karakter brand serta audiens yang dituju.

Jika sudah melalui tahap-tahap tersebut, seorang praktisi brand dapat berkreasi mengolah tiap tren ke dalam ragam bentuk konten, seperti komik, meme, dan lainnya. Kuncinya adalah buat semenarik dan sekreatif mungkin.

“Pasarkan narasi konten brand itu melalui media sosial yang sesuai target audiens. Media sosial baru bisa maksimal penggunaannya jika dipilih berdasarkan audiens brand, sehingga pesan brand juga sampai dengan tepat. Misalnya, jika audiens anak muda, manfaatkan Instagram dan Youtube,” ujar Didit.

Brand juga disarankan untuk mengeksplorasi ragam media sosial selain yang sudah ada, karena dunia maya penuh dinamika dan inovasi. Maka, praktisi brand diharapkan sigap mengikuti. Marcomm Manajer Harian Kompas, Tarrence K. Palar juga memaparkan beragam contoh kasusnya.

“Dalam menarasikan brand, khususnya Harian Kompas, sering kali mewujudkannya lewat social movement yang interaktif baik secara implementasi digital dan lapangannya. Alasannya karena keterlibatan langsung antara brand dan audiens adalah salah satu cara efektif menyampaikan storytelling pesan kita,” ujar Tarrence.

Narasi dalam branding memang tidak bisa dibangun hanya dalam semalam saja, diperlukan strategi matang dan kreativitas tanpa batas. Baik itu dirancang jauh hari, maupun spontanitas mengikuti tren.

Selama dua hari kelas berlangsung, peserta tak hanya diberi pemaparan lengkap teori narasi branding, tetapi juga evaluasi dan diskusi. Peserta juga dibagi menjadi beberapa kelompok untuk praktek mengerjakan studi kasus branding, dan diminta membangun narasi yang sesuai. Kelas berakhir dengan sesi foto bersama.

“Kelas ini punya banyak hal menarik buat dipelajari. Saya merasa wawasan jadi lebih terbuka karena ilmu barunya berguna buat pekerjaan yang saya jalani sekarang di tim marketing,” ujar Erin Gita Rahaya, salah satu peserta kelas.

Kompas Institute adalah lembaga pelatihan dan pendidikan di bawah naungan Harian Kompas, berdiri pada 17 Mei 2018. Hingga saat ini Kompas Institute telah menyelenggarakan lokakarya dalam lingkup penelitian, kehumasan, penulisan kreatif, dan fotografi jurnalistik yang diikuti oleh lebih dari 400 peserta.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran kelas mendatang, bisa langsung mengunjungi situs institute.kompas.id.