Mereka yang telah menjadi peserta pelatihan kehumasan bertajuk ‘Berpartner dengan Media’ pasti merasakan serunya interaksi dalam kelas yang diselenggarakan oleh Kompas Institute. Berlokasi di Gedung Kompas Gramedia Palmerah Selatan, kelas pertama tentang kehumasan ini berlangsung selama dua hari penuh pada 28–29 November 2018. Setiap peserta aktif bertanya, berdiskusi, dan berbagi pengalaman dengan pemateri, dalam upaya membangun hubungan dengan media.

Tim pengajar Kompas Institute kali ini terdiri atas Wakil Manajer Media Sosial Harian Kompas Didit Putra Erlangga, Wartawan Senior Ekonomi Harian Kompas Andreas Maryoto, Marketing Communication Manager Harian Kompas Tarrence Palar, serta Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto.

Didit Putra Erlangga, Wakil Manajer Media Sosial Harian Kompas

 

Mencari “Voice” dan Kekuatan “Storytelling”

Pada hari pertama, pemateri menyoroti tantangan berelasi dengan media di era digital. Saat internet memudahkan semua orang menjadi produsen dan sekaligus konsumen, Didit Putra Erlangga mengingatkan, di era digital ketika media sosial menjamur, kita menghadapi pertempuran atau disrupsi. Semua orang berebut untuk bicara. Tantangannya adalah kemampuan humas untuk membedakan mana voice (suara kebenaran) dan noise (kebisingan). “Lalai mengambil dan menyampaikan informasi akan menjadi bumerang bagi humas dan lembaga yang diwakilinya,” kata Didit.

Dengan demikian, praktisi humas perlu memahami kultur dan karakter media sosial agar tidak salah langkah dalam membuat konten informasi krusial. Selain itu, penguasaan teknik membangun engagement dengan warganet, pemilihan kanal komunikasi, hingga melakukan kolaborasi kreatif dalam pemanfaatan media konvensional dengan digital mutlak diperlukan. Kombinasi pengetahuan dan kolaborasi tersebut akan berujung pada konversi, jenisnya tergantung objektif dari key performance indicator (KPI) pemegang merek (brand).

Hal serupa disampaikan Andreas Maryoto. Ia memaparkan bahwa perubahan lanskap media dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi digital, membuat gaya pemegang merek (brand) harus terus beradaptasi dalam berkomunikasi dengan media. Salah satu caranya adalah konten berfokus pada metode penceritaan (storytelling) yang kuat. Ini akan menjadi daya tarik tersendiri dibandingkan dengan konten yang bersifat mengedepankan produk (hardsell). Maryoto juga menjelaskan pola relasi media dan korporasi yang perlu mengedepankan nilai tambah bagi publik; penanganan krisis komunikasi; serta era transformasi iklan sebagai bagian dari strategi komunikasi.

Tarrence Palar juga menuturkan beragam bentuk konkret partnership dengan media. Dengan pesatnya perkembangan digital, bentuk kerja sama dengan media juga dapat menjadi lebih variatif. Dengan pemahaman karakter media, kerja sama dapat berbentuk ruang iklan konvensional hingga content partnership di media sosial. “Era digital membuat korporat maupun media wajib menyesuaikan diri. Terlebih di era pasar audiens didominasi generasi milenial, partnership yang memanfaatkan media sosial menjadi salah satu pendekatan yang bisa dicoba. Kuncinya baik korporat maupun media wajib memiliki keunikan dan kebaruan ide,” ujar Tarrance Palar.

 

Para peserta berfoto di depan gambar pendiri Kompas, Jakob Oetama dan PK Ojong

Menulis Rilis Media dan Kepentingan Publik

Pemetaan media yang tepat untuk bekerja sama, perlu diawali dengan pemahaman karakter media untuk memudahkan korporat, misalnya, dalam penulisan rilis pers. Rilis pers masih sangat berguna saat ini karena pertemuan langsung dengan wartawan atau media pada praktiknya tidaklah mudah. Lebih jauh, rilis pers juga akan memastikan materi yang disampaikan sesuai harapan dan meminimalisasi kesalahan teknis seperti penulisan nama orang, nama tempat, dan seterusnya.

Tri Agung Kristanto menambahkan, “Penulisan rilis pers perlu memperhatikan komposisi 5W1H, kedalaman penjabaran, serta kemampuan rilis menjembatani wartawan dalam menulis berita. Rilis yang dilengkapi data dan visual sederhana juga lebih dianjurkan sebagai kelengkapan informasi.”

Di penghujung hari kedua, setiap peserta diminta untuk mengirimkan rilis pers untuk dievaluasi. Faktor daya tarik dan relevansi menjadi poin penilaian penting dari contoh rilis yang dievaluasi. Dengan menulis rilis pers yang baik, salah satu tantangan dalam berelasi dengan media bisa dijembatani.

Harus diakui, di era konvergensi digital praktisi humas harus lincah dan adaptif. Namun, tantangan tersebut tak dipungkiri juga memberi warna baru dalam seni berelasi dengan media, yakni menguji kreativitas dan optimisme praktisi humas dalam bekerja. Pada akhirnya, media dan praktisi humas adalah dua entitas yang sama-sama bertugas melayani masyarakat melalui informasi yang memberi nilai tambah.

Pelatihan ditutup dengan mengajak peserta melihat dapur Redaksi Harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV di Menara Kompas, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat.

Kompas Institute adalah lembaga pelatihan di bawah naungan Harian Kompas, berdiri pada 17 Mei 2018. Hingga saat ini Kompas Institute telah menyelenggarakan lokakarya dalam lingkup penelitian, humas, jurnalistik, hingga periklanan, yang diikuti oleh lebih dari 350 peserta. Sampai jumpa di pelatihan Kompas Institute berikutnya! [VGA/SLY]